TRANSLATE THIS BLOG

Click the flags to read this page in others language:

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Jangan Cuma Menggeser Jadwal Makan, Bro !

Ruslan Yunus (Peminat Sosiologi Religi)

 Berbicara tentang bulan Ramadan, tidak terlepas dari melakukan puasa, sebuah ibadah ritual yang juga telah diwajibkan atas umat-umat terdahulu. Definisi paling sederhana dari berpuasa adalah menahan diri dari segala aktivitas makan- minum, termasuk merokok dan melakukan hubungan suami- istri mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Untuk kita yang bermukim di Indonesia, waktu menahan ini sekitar 13-14 jam, waktu yang mungkin bagi banyak diantara kita dirasakan cukup lama untuk tidak makan dan minum.

Maka tidak heran kita sudah terbiasa menyiapkan menu makanan dengan berbagai dan beragam jenisnya untuk disantap pada saat berbuka; mungkin pula dalam jumlah yang lebih banyak dari hari-hari biasanya.Diantara kita, untuk berbuka mungkin merasa perlu menyiapkan segelas es buah, dua potong lumpia, semangkuk kolak ubi, dan segelas teh-susu, sebelum makanan utama. Seakan telah menjadi suatu keharusan untuk menyiapkan buka puasa dengan cara "istimewa". Perilaku ini bisa terkesan sebagai menghamburkan uang, dan jika berlebih-lebihan makan, malah dapat menyebabkan sakit. Hal ini juga terjadi pada “keharusan” menyiapkan baju baru, perabot baru, warna cat baru untuk rumah, dan sebagainya untuk menyambut lebaran.

Di satu sisi, naiknya konsumsi di bulan Ramadan dapat menggairahkan roda perekonomian. Namun di sisi lain, datangnya bulan Ramadan setiap tahun selalu diikuti dengan kekhawatiran akan naiknya pula inflasi. Data dari BPS (2014) dan Word Bank (2015) menyebutkan laju inflasi bulan Juni 2012 sebesar 0,62% naik menjadi 0,70 % pada bulan Juli. Laju inflasi pada Juni 2013 sebesar 1,03 % naik menjadi 3,29 % pada bulan Juli. Laju inflasi pada bulan Mei 2014 sebesar 0,16 % naik menjadi 0,43 % pada bulan Juni. Kenaikan laju inflasi setiap memasuki bulan Ramadan tentu akan berkontribusi terhadap besaran inflasi tahun berjalan. Bagi orang- orang kaya yang memiliki banyak rumah, ruko, apartemen, tanah, dan emas batangan, naiknya inflasi akan mendongkrak nilai aset mereka. Tapi bagi mereka yang pendapatannya pas- pasan, apalagi yang hidup dibawah garis kemiskinan (yang konon jumlahnya masih cukup banyak di negeri tercinta kita ini), naiknya inflasi akan "menggerus" daya beli mereka, bahkan terhadap kebutuhan dasar pangan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan transportasi ke tempat mencari nafkah sekalipun.

Pengertian inflasi menurut Teori Ekonomi Makro adalah kenaikan harga barang- barang yang bersifat umum, dan berlangsung secara terus- menerus. Efek negatif kenaikan inflasi tentu juga akan dirasakan oleh saudara- saudara kita dari non-muslim yang tidak berpuasa Ramadan. Lalu bagaimanakah seharusnya kita menyiapkan menu makan- minum selama bulan Ramadan? Dari Anas bin Malik r.a. diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. berbuka dengan kurma seadanya, dan jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan beberapa teguk air putih sebelum mendirikan salat magrib. Kurma, apalagi air putih mengisyaratkan akan keutamaan "kesederhanaan” berbuka puasa.

Perihal makan- minum ini, termasuk sesudah berbuka, saat sahur dan hari- hari biasa diluar bulan Ramadan, beiiau bahkan memberikan suatu tuntunan yang sangat indah seperti diriwayatkan oleh Tirmidzi r.a. dan Ibnu Hibban r.a. Cukuplah bagi anak cucu Adam beberapa potong makanan untuk menjaga punggungnya tetap tegak. Apabila ia harus makan lebih banyak untuk mengisi perutnya, maka sepertiga bagian adalah untuk makanan, sepertiga bagian untuk air, dan sisanya sepertiga bagian untuk udara untuk bernafas. Pada bulan Ramadan, menu untuk makan seharusnya "lebih sedikit", tanpa harus mengabaikan faktor kualitasnya, atau setidaknya sama dengan bulan- bulan lainnya di luar bulan Ramadan.

Dibalik itu, puasa ternyata menyimpan sejumlah manfaat fisiologis, psikologis, dan sosiologis seperti dilaporkan pada sejumlah hasil riset dan kajian ilmiah. Diantaranya, seperti dilaporkan oleh peneliti dari Intermountain Medical Center di Murray, Utah Amerika Serikat, setelah 10 sampai 12 jam menjalani puasa, tubuh memasuki kondisi perlindungan mandiri atau "self protection", dan mulai melacak sumber- sumber energi di dalam tubuh demi mempertahankan kelangsungan "hidup" tubuh.

Salah satu yang dilakukannya adalah menyasar dan mengambil kolesterol jahat LDL dari sel- sel lemak tubuh. Bagi kesehatan tubuh, hal ini tentu sangat bermanfaat untuk menekan faktor-faktor resiko diabetes, kardiovaskular, dan obesitas. Temuan ini dipresentasikan pada pertemuan tahunan ahli-ahli diabetes Amerika Serikat tahun 2014 di San Fransisco.

Bagaimana proses biologi LDL ini digunakan oleh tubuh, belum sepenuhnya dapat dipahami. Dugaan sementara "pengambilan" sel-sel lemak untuk menghasilkan energi membantu meniadakan resistensi terhadap insulin. Pada kondisi resistensi insulin, pankreas secara terus- menerus dipaksa memproduksi insulin untuk kebutuhan tubuh sampai batas pankeas tidak mampu lagi memproduksi insulin, yang kemudian berakibat naiknya kadar gula darah. Sel- sel lemak sendiri merupakan pemicu utama timbulnya resistensi terhadap insulin ini, penyebab diabetes. Seperti dikatakan oleh Dr. Benjamin Horne yang memimpin penelitian ini, puasa membantu mengeliminasi dan memecah sel-sel lemak yang dapat mencegah resistensi insulin.

Pada "International Congress on Health and Ramadan" yang diselenggarakan di Casablanka pada tahun 1994, sekitar 50 artikel hasil penelitian dari berbagai belahan dunia menyorot khusus efek puasa terhadap kesehatan. Kesimpulannya adalah puasa Ramadan merupakan cara ideal yang direkomendasikan untuk mengobati beberapa jenis penyakit pada level ringan sampai moderat. Diantaranya adalah diabetes, hipertensi, obesitas, kelebihan gula darah, dan kolesterol. Namun puasa tidak direkomendasikan bagi penyakit- penyakit yang tergolong berat seperti diabetes tipe I, dan batu ginjal.

Dari perspektif psikologi, puasa bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari pikiran, ucapan, dan tindakan sia-sia atau merugikan orang lain dan lingkungan. Karena itu, puasa akan memperkuat kontrol diri dan mengembangkan sifat- sifat terpuji yang erat kaitannya dengan harmonisasi jiwa dan raga individu. Diriwayatkan oleh Bukhari r.a. bahwa barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta, bahkan melakukannya (padahal ia sedang berpuasa), maka Allah tidak butuh akan amalannya meninggalkan makan dan minum itu.

Sebuah penelitian lain untuk mengetahui efek puasa terhadap kesehatan mental telah dilakukan oleh Ali Mousavi (dari Pusat Riset Ilmu Perilaku, Universitas Kermanshah Sains Medika), dan kawan- kawannya. Peneltian ini dilakukan terhadap komunitas penduduk kota Kermanshah di Iran pada tahun 2012, dengan jumlah responden sebanyak 110 orang. Pengambilan data responden dilakukan sebelum dan setelah sedikitnya 21 hari responden menjalani puasa Ramadan. Hasilnya menunjukkan terdapat perbaikan kesehatan mental pada orang yang berpuasa, ditandai dengan penurunan gejala somatik, kegelisahan atau insomnia, dan disfungsi sosial. Dari perspektif sosiologi, puasa membawa pesan "persamaan" antar individu, menghormati dan mencintai sesama tanpa sekat status dan latar belakang. Muaranya adalah kesediaan untuk berbagi dengan orang lain, terkhusus bagi mereka yang benar- benar membutuhkan. Bagi kita yang memiliki cukup makanan, berpuasa seharusnya merupakan pengalaman berharga untuk turut merasakan perihnya perut karena lapar, seperti yang dialami oleh saudara-saudara kita yang kelaparan karena tidak mampu membeli makanan.

Berkaitan dengan ini, sebuah penelitian terkait dengan pertanyaan apakah berpantang makan selama bulan Ramadan memengaruhi perilaku pro- sosial seseorang dibandingkan di luar bulan Ramadan telah dilakukan di sebuah industri manufaktur. di kota Isfahan Iran. Seperti dilaporkan oleh Ernan Haruvy dari Universitas Texas, Dallas, dan kawan-kawannya, penelitian ini melibatkan 312 pekerja pada industri tersebut. Data dari responden ini diambil pada tanggal 16 Juli 2014 bulan Ramadan dan pada tanggal 3 Maret 2015, setelah Ramadan. Kepada setiap responden diberi sejumlah uang dan kemudian diminta untuk mengalokasikan uang tersebut untuk dirinya dan untuk orang lain yang tidak dikenalnya. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kedermawanan pekerja pada bulan Ramadan meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pada saat diluar Ramadan.

Dr. Elizabeth Dunn, seorang psikolog dari British Columbia University, Vancouver, Kanada bersama timnya mencoba meneliti hubungan antara pilihan pengeluaran atau konsumsi dengan tingkat kebahagiaan. Penelitian ini berangkat dari pertanyaan mengapa orang yang menggelontorkan uangnya (karena kenaikan pendapatan) untuk kepentingan dirinya, cuma menghasilkan kebahagiaan atau kepuasan sesaat dan tidak langgeng? Hasil dari penelitian ini yang dipublikasikan pada bulan Maret 2008, cukup mengejutkan. Analisis data dari serangkaian eksperimen yang dilakukan, Dunn dan timnya menyimpulkan bahwa pengeluaran untuk membeli barang- barang konsumsi untuk keperluan pribadi tidak berkorelasi dengan tingkat kebahagiaan yang dirasakan. Sebaliknya, semakin banyak uang yang dibelanjakan seseorang untuk keperluan orang lain (yang sangat membutuhkan), semakin tinggi tingkat kebahagiaan atau tingkat kepuasaan yang diperoleh orang tersebut.

Walhasil bila berpuasa Ramadan, jangan cuma menggeser jadwal makan, bro !. Tapi geser (baca kendalikan) juga pikiran. mata, mulut, telinga, tangan dan kaki dari melakukan tindakan kesia-siaan. Kesia-siaan ketika kita mulai gemar berkonsumsi secara berlebih-lebihan, ketika kita menjadi hedonis yang hanya mementingkan diri sendiri dan kehilangan empati akan kesusahan orang lain (yang boleh jadi kesusahan orang lain itu karena perbuatan tangan kita), ketika kita menjadi tamak dan gemar menghalalalkan segala cara, ketika kita tidak lagi bersungguh- sungguh pada pekerjaan yang diamanahkan, ketika kita mulai gemar berburuk sangka dan bergunjing, ketika kita mulai ingin untuk dihormati secara berlebih- lebihan, termasuk karena sedang berpuasa, dan seterusnya. Sesungguhnya, puasa adalah kombinasi dari praktek spiritual- religi, pengendalian diri atas makan- minum dan seks, dan perubahan sikap hidup dan gaya hidup.

Bukankah kita tidak ingin puasa Ramadan kita ini cuma menghasilkan lapar dan haus saja, karena tidak mampu mengendalikan pikiran, mata, mulut, telinga, tangan dan kaki kita dari melakukan kesia- siaan ? Sebaliknya, bukankah kita ingin meraih "kemenangan" berpuasa dengan tawaduk dan merefleksikannya tidak hanya selama Ramadan, tetapi juga di sebelas bulan berikutnya ? Kemenangan berpuasa sesungguhnya adalah kemenangan mengendalikan pikiran, mata, mulut, telinga, tangan dan kaki guna meraih manfaat fisiologis, psikologis, dan sosiologis dari berpuasa, sekaligus meraih kesemakin-dekatan diri (taqarrub) pada Tuhan. Sebuah perenungan elok untuk kita, terutama untuk diri saya. (ruslan yunus- all rights reserved).

*) Artikel ini telah dimuat pada Koran Fajar, edisi 11 Juli 2015, Ramadan 1436 H.

0 comments:

Related Post

 
© free template by Blogspot tutorial